Senjata Kami Baru Sebatas Pena
Oleh: Ganna Pryadharizal, Alumnus Universitas al Azhar Mesir
Kami
arahkan pandangan untuk ‘menyaksikan’ saudara-saudara kita; Mujahidin
di setiap tempat, terutama para mujahid Daulah Islam Irak dan Syam
(ISIS) di Suriah. Kami cukup bersedih melihat kondisi mereka. Banyak
pihak yang mencoba untuk mengalienasi dan memarjinalkan mereka. Banyak
pihak menistakan mereka dan sedikit sekali yang membela mereka.
Berangkat
dari fakta ini, kami sebagai bagian dari umat Islam yang belum bisa
berjihad ke sana, mencoba untuk ambil bagian membela dan membantu
mereka. Kami takut kelak Allah menanyakan tanggung jawab kami terhadap
saudara-saudara seiman kami.
Meski
belum banyak yang dapat kami lakukan untuk membantu mereka, kami sadar
bahwa berpangku tangan pun sungguh tidak bijak. Bahkan betapa
berbahayanya berpangku tangan, karena kebatilan akan keluar sebagai
pemenang dan kebenaran semakin centang-perenang.
Dalam proxy war (perang
perpanjangan tangan) antara kebenaran dan kebatilan ini, senjata kami
baru sebatas pena (baca: tulisan), selain doa tentunya. Kami baru bisa
sebatas menyusun kata-kata dan “berteriak” lantang melalui pena.
Padahal,
kami menyadari bahwa kami bukanlah orang-orang yang pandai untuk
menulis dan menyusun kata-kata. Kami hanya menuliskan apa yang ada di
benak dan perasaan kami. Sebagaimana kami juga tidak pandai untuk
menggubah syair dan sajak. Tidak banyak ilmu yang kami punya, dan kami
pun masih terus belajar.
Tapi kami tidak ingin berkhianat dengan menyembunyikan ilmu yang telah kami ketahui, meski hanya sedikit. “Sampaikanlah (ilmu) dariku, walau hanya satu ayat,” Begitu Rasulullah mewanti-wanti.
Kami
ingin “berteriak” melalui pena, tatkala banyak lisan dan tulisan
berdusta tentang Daulah Islam. Kami “berteriak” lantang, ketika
kesabaran sudah menipis dan mencapai klimaksnya, setelah membaca dan
mendengar berbagai kabar hoax (bohong) yang disebar orang-orang kafir dan munafik.
Kami
meraih pena yang seandainya berubah menjadi senapan,niscaya kami akan
gunakan untuk menembak jantung mereka. Dan seandainya pena itu berubah
menjadi bayonet, niscaya kami akantikam dada mereka.
Kami geleng-geleng kepala terheran-heran ketika mendengar mereka mengatakan, “ISIS adalah Khawarij! ISIS adalah takfiri (gemar
mengkafirkan)!” Kami bertambah heran dan menyesal ketika mendengar
bahwa orang-orang yang berkata seperti itu adalah para ulama. Mereka
mengulang-ulang pernyataan keji tersebut di berbagai siaran televisi,
radio, publikasi koran dan majalah. Mereka menyuarakan
pernyataan-pernyataan yang mengindikasikan permusuhan mereka terhadap
Mujahidin!
Padahal,
mereka tidak pernah terjun ke medan jihad. Mereka cuma bisa hidup enak
di zona nyaman mereka. Mereka hanya bisa berkomentar dan mengkritik, di
saat anak-anak, kaum wanita, dan para orang tua Muslim dibantai secara
terang-terangan baik di Suriah, Irak, Palestina, Afghanistan, Myanmar,
Filipina, dan negeri-negeri lainnya.
Sungguh
mengherankan! Sikap dan ucapan mereka sangat menyakitkan kaum Muslimin
yang berjihad membela Allah dan Rasul-Nya. Mereka justru begitu semangat
menyenangkan orang-orang kafir dan memuaskan para penguasa thaghut.
Mereka begitu tega mendoakan kejelekan untuk orang-orang yang ingin
menegakkan syariat Islam di muka bumi.
Ironis, mereka begitu syahdu ber-mudahanah (menjilat)
dan bermesraan dengan orang-orang kafir yang telah membantai anak-anak
Muslim di Irak, Afghanistan, Suriah, Somalia, dan negara lainnya. Sangat
mengherankan! Sungguh mereka telah kehilangan kejantanan mereka!
Kami katakan, “Jika kalian tak sanggup untuk tampil sebagai ksatria pembela al-haqq, maka berikan jalan kepada para Mujahid untuk melakoninya. Janganlah kalian mengacaukan Mujahidin.”
Jelas
kami geram. Jelas kami ingin membela Daulah Islam dan para mujahid di
sana. Tapi untuk saat ini, kami baru bisa berjuang dengan pena.Sangat
sederhana, namun tidak bisa dianggap enteng.
Pena
itu kejam. Selain bisa membunuh orang lain, pena bahkan sanggup
membunuh tuannya sendiri. Sampai-sampai Kaisar Perancis Napoleon
Bonaparte begitu takut dengan pena.
“Saya lebih takut pada sebuah pena, daripada seratus meriam,” cetus Napoleon.
Hal ini juga diamini mantan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill yang menyatakan, “Pena lebih tajam daripada pedang.”
Dua
pernyataan ini menunjukkan bahwa “pena” atau tulisan kita bisa menjadi
senjata ampuh untuk melakukan perubahan, membantu saudara-saudara kita
berjuang meninggikan “kalimat” Allah.
Tenang saja, berjuang dengan pena bukan berarti kami menganulir “jihad” dalam makna syar’i-nya, yaitu qital (berperang) melawan musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya. Perjuangan kami ini baru permulaan.
Jika kelak Allah memberi kami kemampuan untuk jihad qital,
kami tidak akan ragu untuk terjun di dalamnya. Karena pena dan pedang
akan bahu-membahu. Kami dan para mujahid di medan jihad akan bersinergi.
Dalam artikelnya berjudul Munazharah baina As-Saif wa Al-Qalam (Dialog
Imajiner antara Pedang dengan Pena), Syaikh Abu Jandal Al-Azadi –semoga
Allah membebaskannya dari belenggu thaghut– menyatakan, “Saya menyadari
bahwa orang yang hanya menggenggam pena, tanpa pedang, maka dia akan
terhina. Dan orang yang hanya menghunus pedang, tanpa berbekal pena,
maka dia akan tersesat dan tergelincir.”
Semoga
Allah merahmati Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang menegaskan, “Agama
Islam niscaya tidak akan tegak, melainkan dengan Al-Quran yang akan
memberi petunjuk dan pedang yang akan menolong. Cukup Allah yang memberi
petunjuk dan pertolongan.”
Namun
untuk menguasai senjata pena ini, membaca dan menuntut ilmu menjadi
keniscayaan. Artinya, untuk menulis, kita harus banyak membaca.
Ya
Allah, berikanlah pertolongan kepada para mujahid dan muwahhid di
setiap tempat. Ya Allah, lindungilah saudara-saudara kami para muwahhid
di setiap tempat. Ya Allah, lindungilah saudara-saudara kami yang tengah
mendapatkan cobaan dari para thaghut. Ya Allah, bebaskanlah
saudara-saudara kami yang sedang ditawan para penguasa kafir. Amin.
Editor : Arkan al Fadhil, Shoutussalam Islamic Media
Sumber : Shoutussalam.com