Asiyah binti Muzahim : Wanita yang Dibangunkan Rumah di Surga


Keteladanan Asiyah
Asiyah termasuk sedikit diantara manusia yang namanya terukir dalam
Alquran. Allah memberikan penghormatan kepadanya karena ketakwaan dan
keshalehannya. Allah menjadikannya sebagai contoh bagi kaum wanita yang
tetap tegak dalam keyakinan tauhid walaupun berada di tengah-tengah
lingkungan yang penuh dengan dosa dan kemusyrikan. Allah juga
menjadikannya sebagai contoh bagi istri yang sabar. Istri penyabar bisa
memberikan jasa sangat besar dalam memelihara keutuhan rumah tangga,
kebahagiaan suami dan kegembiraan anak-anaknya. Istri seperti itu tidak
akan mudah menceritakan kesulitan dan berbagai permasalahan yang akan
menyedihkan dan mencemaskan suaminya. Walaupun sebenarnya ia menyimpan
kepahitan dalam hatinya. Semua kesulitan akan dihadapinya dengan penuh
ketabahan dan sikap pasrah kepada Allah.
Asiyah termasuk orang yang tak silau dengan kehidupan duniawi. Meski
ia hidup di lingkungan Istana. Ia tidak tertarik dengan segala kemewahan
yang ada di dalamnya. Ia tidak mau memanfaatkan kesempatan sebagai
seorang istri Raja untuk bersenang-senang dan berfoya-foya. Malah ia
menganggap rendah segala kemewahan dunia yang ada padanya dan meminta
agar diselamatkan dari Fir’aun berikut keburukannya demi untuk menggapai
kehidupan akhirat.

Baginya, kemuliaan yang hakiki dan kehormatan yang mutlak hanya ada
pada Allah Swt. Ia meyakini bahwa dunia beserta kenikmatannya akan
lenyap, sedangkan akhirat adalah kehidupan kekal, damai abadi selamanya.
Maka baginya lebih memilih hal yang kekal daripada yang fana. Allah
juga memberikan Asiyah hati yang lemah lembut. Hatinya yang lembut itu
ia tunjukkan tatkala Fir’aun menghukum keluaga Masyithoh yang tak mau
mengakui ketuhanannya. Ia adalah satu-satunya keluarga istana yang
bercucuran air matanya ketika menyaksikan bagaimana keluarga Masyithoh
dilemparkan ke dalam api, karena keluarga itu beriman kepada apa yang
dibawa oleh Musa. Tanpa belas kasihan, pengawal Fir’aun melemparkan satu
per satu anak Masyithoh ke dalam api. Hati Asiyah semakin teriris
tatkala giliran anak terkecil yang masih ada dalam pelukan pelayan
perempuan istana Fir’aun itu juga dilempar ke dalam api. Dan pada saat
itulah ia juga melihat sebuah kebenaran ketika tiba-tiba bayi yang masih
dalam gendongan itu berkata, “Wahai ibuku, bersabarlah. Sesungguhnya
engkau berada di atas kebenaran”. Bayi itu berkata kepada ibunya ketika
perasaan takut dan iba menguasai hati Masyithoh.
Sewaktu semua orang berbondong-bondong menyatakan pengakuan terhadap
ketuhanan Fir’aun, Asiyah malah sebaliknya. Ia terang-terangan menolak
Fir’aun sebagai Tuhan. Betapapun besar kecintaan dan kepatuhannya pada
suami, ia tidak bisa menerima pengakuan itu. Ia tetap memegang teguh
keyakinannya bahwa Tuhan yang patut disembah adalah Allah Yang Esa.
Ia lebih memilih dihukum daripada harus mengakui ketuhanan suaminya
yang berarti musyrik kepada yang kekal yaitu Allah. Sikapnya itu membuat
Fir’aun marah. Asiyah terus menerus mendapat tekanan agar meninggalkan
keyakinannya itu. Tetapi usaha itu sia-sia. Meski hidup di bawah tekanan
dan ancaman, ia tak takut sedikitpun mempertahankan keyakinannya. Ia
tetap sabar menghadapi perilaku buruk suaminya. Tabah menghadapi
kekejaman suaminya dan hanya pasrah pada Allah.
Asiyah tetap teguh dalam mengikuti ajaran Musa As walau nyawa sebagai
taruhannya. Ketika Fir’aun masuk ke dalam kamarnya setelah membakar
keluarga Masyithoh, Fir’aun berkata, “Kuharap kamu telah menyaksikan
bagaimana yang terjadi atas perempuan yang ingkar kepada tuhannya yang
agung, Fir’aun.” Dengan cepat Asiyah menyela, “Celaka engkau hai Fir’aun
dengan azab Allah!” Tak ayal lagi, perkataannya itu telah membuat
Fir’aun marah besar. Fir’aun segera memerintahkan para pengawal untuk
mengikatnya di empat tiang kebun istana, kemudian para pengawal
mengambil cemeti dan menderakan ke tubuh Asiyah. Sementara Fir’aun
memerintahkan untuk memperkeras siksaan itu.
Tak sepatah katapun keluar dari mulut Asiyah selain munajat kepada
Allah Swt yang diabadikan dalam Alquran, “Ya Tuhanku, bangunlah untukku
sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun
dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim”. (QS.
66:11). Setelah itu Asiyah pun pergi menuju Tuhannya sebagai wanita
syahidah di empat tiang.
Oleh: Bernard Abdul Jabbar
