Di Balik Elok Danau Toba
Danau Toba terlihat dari menara pandang Tele di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, Jumat (22/7/2011). Danau Toba adalah danau terbesar di Indonesia. Danau hasil volcano tektonik terbesar di dunia, dengan panjang danau 87 kilometer dan lebar 27 kilometer, terbentuk dari letusan gunung berapi raksasa (supervolcano) yang terjadi sekitar 75 ribu tahun lalu.
Toba ibarat Indonesia kecil. Dia menampilkan ironi tentang pemandangan yang elok, sumber air dan kehidupan, namun sekaligus menyimpan riwayat—dan ancaman—mematikan.
Jauh di balik permai Danau Toba yang menghampar di Sumatera Utara, sebuah daya rusak yang mahadahsyat tersembunyi di dalamnya.
Danau Toba, yang sejatinya merupakan kaldera gunung api raksasa pernah meletus hebat sehingga mengubah iklim dunia dan nyaris menamatkan umat manusia.
Sekitar 74.000 tahun lampau, Gunung Toba meletus hebat (supereruption), mengirim awan panas raksasa yang menutup nyaris seluruh ujung timur hingga barat Pulau Sumatera. Jutaan kubik abu dimuntahkan, menutupi Lautan Hindia hingga Laut Arab dan sebagian Samudera Pasifik. Aerosol asam sulfat yang dilepaskan kemudian menyebar luas ke atmosfir dan menutupi bumi hingga mencipta kegelapan total selama enam tahun.
Suhu bumi mendingin hingga 5 derajat Celsius. Musim dingin global tercipta dari letusan gunung api (volcanic winter). Fotosintesis terhenti. Tumbuhan sekarat, hewan buruan menipis. Homo sapiens, nenek moyang manusia modern, berada di titik nadir, hanya bertahan sekitar 3.000 jiwa. Migrasi manusia pun terhenti dan mereka terisolasi di Afrika, seperti yang terekam dalam kemiripan genetika manusia modern di seluruh penjuru dunia.
Periode ini dikenal sebagai kemacetan populasi manusia modern atau population bottlenecks. Berada di level tertinggi letusan gunung api, yaitu skala 8 volcanic eruption index (VEI), Toba adalah gunung api super (supervolcano), yang letusannya menjadi yang terkuat dalam dua juta tahun terakhir.
Walaupun letusan gunung api, kini, bukan sepenuhnya kejutan geologis dan penelitian tentang hal ini telah berkembang jauh. Namun, beberapa pertanyaan dasar tentang supervolcano, seperti Toba, tetap sulit dijawab, karena sedikitnya pengetahuan kita tentangnya.
Karena itu, Toba yang terbentuk dari kombinasi proses vulkano-tektonik sesungguhnya merupakan gudang ilmu geologi dan vulkanologi sekaligus, yang menantang untuk ditelisik lebih jauh. Toba juga menyedot perhatian para ahli iklim dunia, karena dampak letusannya yang pernah mendinginkan suhu bumi. Selain juga menarik para antropolog, arkeolog, dan ahli genetika terkait dampaknya terhadap perkembangan dan migrasi manusia modern.
Laporan lengkap tentang Toba akan disajikan di Harian Kompas selama empat hari berturut-turut, dimulai, 12 Oktober 2011 dan ditutup dengan edisi khusus Sabtu, 15 Oktober 2011. Setelah "Tambora Mengguncang Dunia" yang dilaporkan September 2011, Ekspedisi Cincin Api Kompas, sampai pada "Toba Mengubah Dunia."
Toba ibarat Indonesia kecil. Dia menampilkan ironi tentang pemandangan yang elok, sumber air dan kehidupan, namun sekaligus menyimpan riwayat—dan ancaman—mematikan.
Jauh di balik permai Danau Toba yang menghampar di Sumatera Utara, sebuah daya rusak yang mahadahsyat tersembunyi di dalamnya.
Danau Toba, yang sejatinya merupakan kaldera gunung api raksasa pernah meletus hebat sehingga mengubah iklim dunia dan nyaris menamatkan umat manusia.
Sekitar 74.000 tahun lampau, Gunung Toba meletus hebat (supereruption), mengirim awan panas raksasa yang menutup nyaris seluruh ujung timur hingga barat Pulau Sumatera. Jutaan kubik abu dimuntahkan, menutupi Lautan Hindia hingga Laut Arab dan sebagian Samudera Pasifik. Aerosol asam sulfat yang dilepaskan kemudian menyebar luas ke atmosfir dan menutupi bumi hingga mencipta kegelapan total selama enam tahun.
Suhu bumi mendingin hingga 5 derajat Celsius. Musim dingin global tercipta dari letusan gunung api (volcanic winter). Fotosintesis terhenti. Tumbuhan sekarat, hewan buruan menipis. Homo sapiens, nenek moyang manusia modern, berada di titik nadir, hanya bertahan sekitar 3.000 jiwa. Migrasi manusia pun terhenti dan mereka terisolasi di Afrika, seperti yang terekam dalam kemiripan genetika manusia modern di seluruh penjuru dunia.
Periode ini dikenal sebagai kemacetan populasi manusia modern atau population bottlenecks. Berada di level tertinggi letusan gunung api, yaitu skala 8 volcanic eruption index (VEI), Toba adalah gunung api super (supervolcano), yang letusannya menjadi yang terkuat dalam dua juta tahun terakhir.
Walaupun letusan gunung api, kini, bukan sepenuhnya kejutan geologis dan penelitian tentang hal ini telah berkembang jauh. Namun, beberapa pertanyaan dasar tentang supervolcano, seperti Toba, tetap sulit dijawab, karena sedikitnya pengetahuan kita tentangnya.
Karena itu, Toba yang terbentuk dari kombinasi proses vulkano-tektonik sesungguhnya merupakan gudang ilmu geologi dan vulkanologi sekaligus, yang menantang untuk ditelisik lebih jauh. Toba juga menyedot perhatian para ahli iklim dunia, karena dampak letusannya yang pernah mendinginkan suhu bumi. Selain juga menarik para antropolog, arkeolog, dan ahli genetika terkait dampaknya terhadap perkembangan dan migrasi manusia modern.
Laporan lengkap tentang Toba akan disajikan di Harian Kompas selama empat hari berturut-turut, dimulai, 12 Oktober 2011 dan ditutup dengan edisi khusus Sabtu, 15 Oktober 2011. Setelah "Tambora Mengguncang Dunia" yang dilaporkan September 2011, Ekspedisi Cincin Api Kompas, sampai pada "Toba Mengubah Dunia."
0 komentar: