Amalan di Bulan Ramadhan Yang Perlu Diperbaiki
Para pembaca At Tauhid yang semoga
selalu mendapatkan limpahan barokah dari Allah. Tidak terasa tinggal
menghitung hari lagi kita akan menginjak bulan Ramadhan. Melanjutkan
edisi ramadhan sebelumnya, saat ini At Tauhid akan mengangkat tema
amalan keliru di bulan Ramadhan. Selain itu, kami akan menyebutkan
beberapa hadits lemah dan palsu yang sering tersebar di tengah-tengah
kaum muslimin berkaitan dengan bulan Ramadhan. Pembahasan ini sengaja
kami angkat agar dapat meluruskan berbagai kekeliruan yang selama ini
terjadi. Karena sungguh amalan tanpa petunjuk dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, itu hanya sia-sia belaka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada tuntunan dari kami, maka amalannya tertolak.” (HR. Muslim)
1. Mengkhususkan Ziarah Kubur Menjelang Ramadhan
Tidaklah tepat ada yang meyakini bahwa
menjelang bulan Ramadhan adalah waktu utama untuk menziarahi kubur orang
tua atau kerabat (yang dikenal dengan “nyadran”). Kita boleh setiap
saat melakukan ziarah kubur agar hati kita semakin lembut karena
mengingat kematian. Namun masalahnya adalah jika seseorang mengkhususkan
ziarah kubur pada waktu tertentu dan meyakini bahwa menjelang Ramadhan
adalah waktu utama untuk nyadran atau nyekar. Ini sungguh suatu
kekeliruan karena tidak ada dasar dari ajaran Islam yang menuntunkan hal
ini.
2. Padusan, Mandi Besar, atau Keramasan Menyambut Ramadhan
Tidaklah tepat amalan sebagian orang
yang menyambut bulan Ramadhan dengan mandi besar atau keramasan terlebih
dahulu. Amalan seperti ini juga tidak ada tuntunannya sama sekali dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lebih parahnya lagi mandi
semacam ini (yang dikenal dengan “padusan”) ada juga yang melakukannya
campur baur laki-laki dan perempuan dalam satu tempat pemandian. Ini
sungguh merupakan kesalahan yang besar karena tidak mengindahkan aturan
Islam. Bagaimana mungkin Ramadhan disambut dengan perbuatan yang bisa
mendatangkan murka Allah?!
3. Mendahului Ramadhan dengan Berpuasa Satu atau Dua Hari Sebelumnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah
kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari
sebelumnya, kecuali bagi seseorang yang terbiasa mengerjakan puasa pada
hari tersebut maka puasalah.”[1]
Sebenarnya tidak ada tuntunan sama
sekali untuk melafazhkan niat semacam ini karena tidak adanya dasar dari
perintah atau perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dari para sahabat. Letak niat sebenarnya adalah dalam hati dan bukan di lisan. An Nawawi rahimahullah –ulama
besar dalam Madzhab Syafi’i- mengatakan, “Tidaklah sah puasa seseorang
kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan
untuk diucapkan dan pendapat ini tidak terdapat perselisihan di antara
para ulama.”[2] Semakin keliru lagi jika niat ini dibaca bareng-bareng
selepas shalat tarawih.
5. Membangunkan Sahur … Sahur
Sebenarnya Islam sudah memiliki tatacara
sendiri untuk menunjukkan waktu bolehnya makan dan minum yaitu dengan
adzan pertama sebelum adzan shubuh. Sedangkan adzan kedua ketika adzan
shubuh adalah untuk menunjukkan diharamkannya makan dan minum. Inilah
cara untuk memberitahukan pada kaum muslimin bahwa masih diperbolehkan
makan dan minum dan memberitahukan berakhirnya waktu sahur. Sehingga
tidak tepat jika membangunkan kaum muslimin dengan meneriakkan sahur …
sahur …. baik melalui speaker atau pun datang ke rumah-rumah seperti
mengetuk pintu. Cara membangunkan seperti ini sungguh tidak ada
tuntunannya sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
juga tidak pernah dilakukan oleh generasi terbaik dari umat ini. Jadi,
hendaklah yang dilakukan adalah melaksanakan dua kali adzan. Adzan
pertama untuk menunjukkan masih dibolehkannya makan dan minum. Adzan
kedua untuk menunjukkan diharamkannya makan dan minum. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu memiliki nasehat yang indah, “Ikutilah
(petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat
bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian[3]”.[4]
6. Pensyariatan Waktu Imsak (Berhenti makan 10 atau 15 menit sebelum waktu shubuh)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Makan
dan minumlah. Janganlah kalian menjadi takut oleh pancaran sinar
(putih) yang menjulang. Makan dan minumlah sehingga tampak bagi kalian
warna merah.”[5] Hadits ini menjadi dalil bahwa waktu imsak
(menahan diri dari makan dan minum) adalah sejak terbit fajar shodiq
–yaitu ketika adzan shubuh dikumandangkan- dan bukanlah 10 menit sebelum
adzan shubuh. Inilah yang sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Dari Anas, dari Zaid bin Tsabit, ia berkata, “Kami
pernah makan sahur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian
kami pun berdiri untuk menunaikan shalat. Kemudian Anas bertanya pada
Zaid, ”Berapa lama jarak antara adzan Shubuh[6] dan sahur kalian?” Zaid menjawab, ”Sekitar membaca 50 ayat”.[7]
Lihatlah berapa lama jarak antara sahur dan adzan? Jawabnya, tidak
terlalu lama, bahkan sangat dekat dengan waktu adzan shubuh yaitu
sekitar membaca 50 ayat Al Qur’an (sekitar 10 atau 15 menit).
7. Dzikir Jama’ah dengan Dikomandoi dalam Shalat Tarawih dan Shalat Lima Waktu
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah
tatkala menjelaskan mengenai dzikir setelah shalat, “Tidak
diperbolehkan para jama’ah membaca dizkir secara berjama’ah. Akan tetapi
yang tepat adalah setiap orang membaca dzikir sendiri-sendiri tanpa
dikomandai oleh yang lain. Karena dzikir secara berjama’ah
(bersama-sama) adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam syari’at
Islam yang suci ini.”[8]
8. Perayaan Nuzulul Qur’an
Perayaan Nuzulul Qur’an sama sekali tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
juga tidak pernah dicontohkan oleh para sahabat. Para ulama Ahlus
Sunnah wal Jama’ah mengatakan, “Seandainya amalan tersebut baik, tentu
mereka (para sahabat) sudah mendahului kita untuk melakukannya.” Inilah
perkataan para ulama pada setiap amalan atau perbuatan yang tidak pernah
dilakukan oleh para sahabat. Mereka menggolongkan perbuatan semacam ini
sebagai bid’ah. Karena para sahabat tidaklah melihat suatu kebaikan
kecuali mereka akan segera melakukannya. [9]
9. Tidak Mau Mengembalikan Keputusan Penetapan Ramadhan dan Hari Raya kepada Pemerintah
Al Lajnah Ad Da’imah, komisi Fatwa Saudi
Arabia mengatakan, “Jika di negeri tersebut terjadi perselisihan
pendapat, maka hendaklah dikembalikan pada keputusan penguasa muslim di
negeri tersebut. Jika penguasa tersebut memilih suatu pendapat,
hilanglah perselisihan yang ada dan setiap muslim di negeri tersebut
wajib mengikuti pendapatnya.”[10]
10. Puasa Tetapi Tidak Shalat
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin -rahimahullah- pernah ditanya, “Apa hukum orang yang berpuasa namun meninggalkan shalat?” Beliau rahimahullah menjawab,
“Puasa yang dilakukan oleh orang yang meninggalkan shalat tidaklah
diterima karena orang yang meninggalkan shalat adalah kafir dan murtad.
Dalil bahwa meninggalkan shalat termasuk bentuk kekafiran adalah firman
Allah Ta’ala,”Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan
menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.
Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.” (QS. At Taubah: 11) Alasan lain adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Pembatas antara seorang muslim dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.”[11]
… Oleh karena itu, apabila seseorang berpuasa namun dia meninggalkan
shalat, puasa yang dia lakukan tidaklah sah (tidak diterima). Amalan
puasa yang dia lakukan tidaklah bermanfaat pada hari kiamat nanti. Kami
katakan, “Shalatlah kemudian tunaikanlah puasa”. Adapun jika engkau
puasa namun tidak shalat, amalan puasamu akan tertolak karena orang
kafir (karena sebab meninggalkan shalat) tidak diterima ibadah dari
dirinya.[12]
Beberapa Hadits Lemah dan Palsu di Bulan Ramadhan
Pertama: “Berpuasalah, kalian akan sehat.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim
di Ath Thibbun Nabawi sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di
Takhrijul Ihya (3/108), oleh Ath Thabrani di Al Ausath (2/225), oleh
Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (3/227). Hadits ini dhaif (lemah),
sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya (3/108),
juga Al Albani di Silsilah Adh Dha’ifah (253). Bahkan Ash Shaghani agak
berlebihan mengatakan hadits ini maudhu (palsu) dalam Maudhu’at Ash
Shaghani (51).
Jika memang terdapat penelitian ilmiah
dari para ahli medis bahwa puasa itu dapat menyehatkan tubuh, makna dari
hadits dhaif ini benar, namun tetap tidak boleh dianggap sebagai sabda
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam .
Kedua: “Tidurnya
orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, do’anya
dikabulkan, dan amalannya pun akan dilipatgandakan pahalanya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi
di Syu’abul Iman (3/1437). Hadits ini dhaif, sebagaimana dikatakan Al
Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (1/310). Al Albani juga mendhaifkan
hadits ini dalam Silsilah Adh Dha’ifah (4696).
Yang benar, tidur adalah perkara mubah
(boleh) dan bukan ritual ibadah. Maka, sebagaimana perkara mubah yang
lain, tidur dapat bernilai ibadah jika diniatkan sebagai sarana
penunjang ibadah. Misalnya, seseorang tidur karena khawatir tergoda
untuk berbuka sebelum waktunya, atau tidur untuk mengistirahatkan tubuh
agar kuat dalam beribadah.
Ketiga: “Wahai
manusia, bulan yang agung telah mendatangi kalian. Di dalamnya terdapat
satu malam yang lebih baik dari 1. 000 bulan. Allah menjadikan puasa
pada siang harinya sebagai sebuah kewajiban, dan menghidupkan malamnya
sebagai ibadah tathawwu’ (sunnah). Barangsiapa pada bulan itu
mendekatkan diri (kepada Allah) dengan satu kebaikan, ia seolah-olah
mengerjakan satu ibadah wajib pada bulan yang lain. Barangsiapa
mengerjakan satu perbuatan wajib, ia seolah-olah mengerjakan 70 kebaikan
di bulan yang lain. Ramadhan adalah bulan kesabaran, sedangkan
kesabaran itu balasannya adalah surga. Ia (juga) bulan tolong-menolong.
Di dalamnya rezki seorang mukmin ditambah. Barangsiapa pada bulan
Ramadhan memberikan hidangan berbuka kepada seorang yang berpuasa,
dosa-dosanya akan diampuni, diselamatkan dari api neraka dan memperoleh
pahala seperti orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang
yang berpuasa tadi sedikitpun” Kemudian para sahabat berkata, “Wahai
Rasulullah, tidak semua dari kita memiliki makanan untuk diberikan
kepada orang yang berpuasa.” Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
berkata, “Allah memberikan pahala tersebut kepada orang yang memberikan
hidangan berbuka berupa sebutir kurma, atau satu teguk air atau sedikit
susu. Ramadhan adalah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya
maghfirah (ampunan) dan akhirnya pembebasan dari api neraka.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu
Khuzaimah (1887), oleh Al Mahamili dalam Amaliyyah (293), Ibnu ‘Adi
dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (6/512), Al Mundziri dalam Targhib Wat Tarhib
(2/115). Hadits ini didhaifkan oleh para pakar hadits seperti Al
Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (2/115), juga didhaifkan oleh
Syaikh Ali Hasan Al Halabi di Sifatu Shaumin Nabiy (110), bahkan
dikatakan oleh Abu Hatim Ar Razi dalam Al ‘Ilal (2/50) juga Al Albani
dalam Silsilah Adh Dhaifah (871) bahwa hadits ini Munkar.
Yang benar, di seluruh waktu di bulan
Ramadhan terdapat rahmah, seluruhnya terdapat ampunan Allah dan
seluruhnya terdapat kesempatan bagi seorang mukmin untuk terbebas dari
api neraka, tidak hanya sepertiganya. Salah satu dalil yang menunjukkan
hal ini adalah, ”Orang yang puasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no.38, Muslim, no.760)
Keempat: “Kita
telah kembali dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar.” Para
sahabat bertanya: “Apakah jihad yang besar itu?” Beliau bersabda:
“Jihadnya hati melawan hawa nafsu.”
Menurut Al Hafidz Al Iraqi dalam
Takhrijul Ihya (2/6) hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Az
Zuhd. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Takhrijul Kasyaf (4/114) juga
mengatakan hadits ini diriwayatkan oleh An Nasa’i dalam Al Kuna. Hadits
ini adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam di
Majmu Fatawa (11/197), juga oleh Al Mulla Ali Al Qari dalam Al Asrar Al
Marfu’ah (211). Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (2460) mengatakan
hadits ini Munkar.
Hadits ini sering dibawakan para khatib
dan dikaitkan dengan Ramadhan, yaitu untuk mengatakan bahwa jihad
melawan hawa nafsu di bulan Ramadhan lebih utama dari jihad berperang di
jalan Allah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Hadits ini tidak
ada asalnya (tidak ada sanadnya). Tidak ada seorang pun ulama hadits
yang berangapan seperti ini, baik dari perkataan maupun perbuatan Nabi.
Selain itu jihad melawan orang kafir adalah amal yang paling mulia.
Bahkan jihad yang tidak wajib pun merupakan amalan sunnah yang paling
dianjurkan.” (Majmu’ Fatawa, 11/197). Artinya, makna dari hadits palsu
ini pun tidak benar karena jihad berperang di jalan Allah adalah amalan
yang paling mulia. Selain itu, orang yang terjun berperang di jalan
Allah tentunya telah berhasil mengalahkan hawa nafsunya untuk
meninggalkan dunia dan orang-orang yang ia sayangi.
Semoga sajian ini bermanfaat.
____________ _
[1] HR. Abu Daud no. 2335, An Nasai no. 2173, Tirmidzi no. 687 dan
Ahmad 2/234. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.[2] Rowdhotuth Tholibin, 1/268.
[3] Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id (1/181) bahwa para perowinya adalah perawi yang shohih.
[4] Lihat pembahasan at tashiir di Al Bida’ Al Hawliyah, hal. 334-336.
[5] HR. Tirmidzi no. 705 dan Abu Daud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.
[6] Yang dimaksudkan dengan adzan di sini adalah adzan kedua yang dilakukan oleh Ibnu Ummi Maktum, sebagai tanda masuk waktu shubuh atau terbit fajar (shodiq). (Lihat Fathul Bari, 2/54)
[7] HR. Bukhari no. 575 dan Muslim no. 1097.
[8] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 11/190.
[9] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 13/12.
[10] Fatawa Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’no. 388, 10/101-103. Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi selaku wakil ketua; Syaikh Abdullah bin Mani’ dan Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan selaku anggota.
[11] HR. Muslim no. 82.
[12] Diringkas dari Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Ibnu ‘Utsaimin, 17/62.