Tuntunan Qiyamul Lail dan Sholat Tarawih
“Hai
orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam
hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah
dari seperdua itu sedikit, atau lebihdari seperdua itu. Dan bacalah Al Qur'an itu dengan perlahan-lahan.” (QS. Al-Muzzammil : 1-4)
Dan
sholat di malam hari juga disebut sholat Tahajjud. Allah ‘Azza wa Jalla
berfirman : “Dan pada sebahagian malam hari bertahajudlah kamu sebagai
suatu ibadah tambahan bagimu:mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.”. (QS. Al-Isra` : 79)
Tahajjud secara bahasa adalah
bermakna membuang tidur. Berkata Imam Ath-Thobary : “Tahajjud adalah
begadang setelah tidur” kemudian beliau membawakan beberapa nukilan dari
ulama Salaf tentang hal tersebut.
Adapun sholat Tarawih,
definisinya adalah Qiyamul Lail secara berjama’ah di malam Ramadhan.
Menurut keterangan Al-Hafizh Ibnu Hajar dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin,
dinamakan Tarawih –yang dia merupakan kata jamak dari tarwihah yang
bermakna ditebalkan- dikarenakan pada awal kali pelaksanaannya
orang-orang memperpanjang berdiri, rukuk dan sujud, apabila telah
selesai empat raka’at dengan dua kali salam maka mereka beristirahat
kemudian sholat empat raka’at dengan dua kali salam lalu beristirahat
kemudian sholat tiga raka’at ,sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
“Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidaklah menambah pada
(bulan) Ramadhan dan tidak pula pada selain Ramadhan lebih dari sebelas
raka'at. Beliau sholat empat (raka'at), jangan kamu tanya tentang
baiknya dan panjangnya, kemudian beliau sholat empat (raka'at) jangan
kamu tanya tentang baiknya dan panjangnya kemudian beliau sholat tiga
(raka'at)”.
Dan perlu diketahui bahwa penamaan
sholat lail di malam Ramadhan dengan nama Tarawih adalah penamaan yang
sudah lama dan di kenal dikalangan para Ulama tanpa ada yang
mengingkari. Perhatikan bagaimana Imam Al-Bukhary (Wafat tahun 256 H)
dalam Shohih-nya menulis kitab khusus dengan judul Kitab Sholat
At-Tarawih dan demikian pula Muhammad bin Nashr Al-Marwazy (Wafat tahun
294 H) dalam Mukhtashor Qiyamul Lail. Demikian pula disebut oleh para
Ulama lainnya, abad demi abad tanpa ada yang mengingkarinya.
Syari'at Sholat Tarawih Berjama'ah
Ada beberapa hadits yang menunjukkan
akan disyari’atkannya pelaksanaan sholat Tarawih secara berjama’ah. Di
antara hadits-hadits itu adalah sebagai berikut :
Dari Abu Dzar Al-Ghifary radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata : “Kami berpuasa Ramadhan bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan beliau tidak berdiri (sholat lail) bersama kami sedikitpun dari bulan itu kecuali setelah tersisa tujuh hari. Kemudian beliau berdiri (mengimami) kami sampai berlalu sepertiga malam. Dan ketika malam keenam (dari malam yang tersisa,-pent.) beliau tidak berdiri (mengimami) kami. Kemudian saat malam kelima (dari malam yang tersisa,-pent.) beliau berdiri (mengimami) kami sampai berlalu seperdua malam. Maka berkata : “Wahai Rasulullah, andaikata engkau menjadikan nafilah untuk kami Qiyam malam ini,” maka beliau bersabda : “Sesungguhnya seorang lelaki apabila ia sholat bersama imam sampai selesai maka terhitung baginya Qiyam satu malam”. Dan ketika malam keempat (dari malam yang tersisa,-pent.) beliau tidak berdiri (mengimami) kami. Dan saat malam ketiga (dari malam yang tersisa,-pent.) beliau mengumpulkan keluarganya, para istrinya dan manusia lalu beliau berdiri (mengimami) kami sampai kami khawatir ketinggalan Al-Falah. Saya –rawi dari Abu Dzar- bertanya : “Apakah Al-Falah itu?” (Abu Dzar menjawab : “Waktu sahur”. Kemudian beliau tidak berdiri lagi (mengimami) kami pada sisa bulan.” (HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nasa`i, Ibnu Majah dan lain-lainnya. Dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Irwa`ul Gholil 2/193/447 dan Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ Ash-Shohih 2/175.)
Dari Abu Dzar Al-Ghifary radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata : “Kami berpuasa Ramadhan bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan beliau tidak berdiri (sholat lail) bersama kami sedikitpun dari bulan itu kecuali setelah tersisa tujuh hari. Kemudian beliau berdiri (mengimami) kami sampai berlalu sepertiga malam. Dan ketika malam keenam (dari malam yang tersisa,-pent.) beliau tidak berdiri (mengimami) kami. Kemudian saat malam kelima (dari malam yang tersisa,-pent.) beliau berdiri (mengimami) kami sampai berlalu seperdua malam. Maka berkata : “Wahai Rasulullah, andaikata engkau menjadikan nafilah untuk kami Qiyam malam ini,” maka beliau bersabda : “Sesungguhnya seorang lelaki apabila ia sholat bersama imam sampai selesai maka terhitung baginya Qiyam satu malam”. Dan ketika malam keempat (dari malam yang tersisa,-pent.) beliau tidak berdiri (mengimami) kami. Dan saat malam ketiga (dari malam yang tersisa,-pent.) beliau mengumpulkan keluarganya, para istrinya dan manusia lalu beliau berdiri (mengimami) kami sampai kami khawatir ketinggalan Al-Falah. Saya –rawi dari Abu Dzar- bertanya : “Apakah Al-Falah itu?” (Abu Dzar menjawab : “Waktu sahur”. Kemudian beliau tidak berdiri lagi (mengimami) kami pada sisa bulan.” (HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nasa`i, Ibnu Majah dan lain-lainnya. Dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Irwa`ul Gholil 2/193/447 dan Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ Ash-Shohih 2/175.)
Dan Abu Tholhah Nu’aim bin Ziyad, beliau
berkata : Saya mendengar Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma di
mimbar Himsh, beliau berkata :
“Kami berdiri (sholat) bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam di bulan Ramadhan pada malam 23 sampai sepertiga malam pertama, kemudian kami berdiri (sholat) bersama beliau pada malam 25 sampai seperdua malam, kemudian kami berdiri (sholat) bersama beliau pada malam 27 sampai kami menyangka tidak mendapati Al-Falah yang mereka namakan untuk waktu sahur” (HR. Ibnu Abi Syaibah 2/394, Ahmad 4/272, An-Nasa`i 3/203, Ibnu Khuzaimah 3/336/2204 dan Al-Hakim 1/607. Dan dihasankan oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ Ash-Shohih 2/174.)
“Kami berdiri (sholat) bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam di bulan Ramadhan pada malam 23 sampai sepertiga malam pertama, kemudian kami berdiri (sholat) bersama beliau pada malam 25 sampai seperdua malam, kemudian kami berdiri (sholat) bersama beliau pada malam 27 sampai kami menyangka tidak mendapati Al-Falah yang mereka namakan untuk waktu sahur” (HR. Ibnu Abi Syaibah 2/394, Ahmad 4/272, An-Nasa`i 3/203, Ibnu Khuzaimah 3/336/2204 dan Al-Hakim 1/607. Dan dihasankan oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ Ash-Shohih 2/174.)
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata :
“Sesungguhnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam keluar di kegelapan malam lalu beliau sholat di masjid maka sekelompok orang sholat mengikuti sholat beliau. Kemudian manusia di pagi harinya membicarakan tentang hal tersebut maka berkumpullah lebih banyak dari mereka, maka keluarlah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam pada malam kedua lalu merekapun sholat mengikuti sholat beliau. Di waktu paginya manusia membicarakan hal tersebut sehingga menjadi banyaklah yang hadir di masjid pada malam ketiga, lalu beliau keluar dan mereka sholat mengikuti sholat beliau. Begitu malam yang keempat masjid tidak mampu menampung penduduknya. Akan tetapi Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam tidak keluar kepada mereka sampai sekelompok orang dari mereka berteriak : “Sholat” namun Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidak keluar kepada mereka sampai beliau keluar untuk sholat subuh. Tatkala beliau menyelesaikan (sholat) subuh, beliau menghadap kepada manusia kemudian beliau tasyahhud lalu berkata : “Amma Ba’du, sesungguhnya keadaan kalian malam ini tidak luput dari pemantauanku, akan tetapi aku khawatir akan diwajibkannya atas kalian sholat lail kemudian kalianpun tidak sanggup terhadapnya’.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim dan lafazh hadits bagi Imam Muslim)
“Sesungguhnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam keluar di kegelapan malam lalu beliau sholat di masjid maka sekelompok orang sholat mengikuti sholat beliau. Kemudian manusia di pagi harinya membicarakan tentang hal tersebut maka berkumpullah lebih banyak dari mereka, maka keluarlah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam pada malam kedua lalu merekapun sholat mengikuti sholat beliau. Di waktu paginya manusia membicarakan hal tersebut sehingga menjadi banyaklah yang hadir di masjid pada malam ketiga, lalu beliau keluar dan mereka sholat mengikuti sholat beliau. Begitu malam yang keempat masjid tidak mampu menampung penduduknya. Akan tetapi Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam tidak keluar kepada mereka sampai sekelompok orang dari mereka berteriak : “Sholat” namun Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidak keluar kepada mereka sampai beliau keluar untuk sholat subuh. Tatkala beliau menyelesaikan (sholat) subuh, beliau menghadap kepada manusia kemudian beliau tasyahhud lalu berkata : “Amma Ba’du, sesungguhnya keadaan kalian malam ini tidak luput dari pemantauanku, akan tetapi aku khawatir akan diwajibkannya atas kalian sholat lail kemudian kalianpun tidak sanggup terhadapnya’.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim dan lafazh hadits bagi Imam Muslim)
Dari hadits ini diketahui mengapa sholat
Tarawih di bulan Ramadhan tidak dilakukan oleh Rasulullah shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam terus menerus yaitu karena kekhawatiran
beliau sholat tersebut diwajibkan atas umatnya sehingga memberatkan
mereka. Namun kekhawatiran ini telah lenyap setelah wafatnya beliau dan
agama telah sempurna. Karena itu sunnah ini dihidupkan oleh ‘Umar bin
Khaththab radhiyallahu ‘anhu.
Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary dari ‘Abdurrahman bin ‘Abd Al-Qary, beliau berkata :
“Saya keluar bersama ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu menuju ke masjid pada suatu malam di Ramadhan, ternyata manusia terbagi-bagi berpisah-pisah, seseorang sholat sendirian dan seseorang sholat dimana sekelompok orang (mengikuti) sholatnya. Maka ‘Umar berkata : “Saya berpandangan andaikata saya kumpulkan mereka pada satu qori` maka itu lebih tepat.”Lalu beliau ber’azam lalu beliau kumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab. Kemudian saya keluar bersama beliau pada malam lain dan manusia sedang sholat (mengikuti) sholat qori’ mereka maka ‘Umar berkata : “Sebaik-baik bid’ah adalah ini dan yang tidur darinya lebih baik dari yang menegakkannya” yang beliau inginkan adalah orang yang sholat pada akhir malam sementara manusia menegakkannya di awal malam”
Ucapan ‘Umar radhiyallahu ‘anhu “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”, beliau maksud bid’ah secara bahasa karena beliau yang pertama kali menghidupkan sunnah ini setelah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam memberikan dasar tuntunannya pada masa hidupnya. Wallahu A’lam.
“Saya keluar bersama ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu menuju ke masjid pada suatu malam di Ramadhan, ternyata manusia terbagi-bagi berpisah-pisah, seseorang sholat sendirian dan seseorang sholat dimana sekelompok orang (mengikuti) sholatnya. Maka ‘Umar berkata : “Saya berpandangan andaikata saya kumpulkan mereka pada satu qori` maka itu lebih tepat.”Lalu beliau ber’azam lalu beliau kumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab. Kemudian saya keluar bersama beliau pada malam lain dan manusia sedang sholat (mengikuti) sholat qori’ mereka maka ‘Umar berkata : “Sebaik-baik bid’ah adalah ini dan yang tidur darinya lebih baik dari yang menegakkannya” yang beliau inginkan adalah orang yang sholat pada akhir malam sementara manusia menegakkannya di awal malam”
Ucapan ‘Umar radhiyallahu ‘anhu “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”, beliau maksud bid’ah secara bahasa karena beliau yang pertama kali menghidupkan sunnah ini setelah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam memberikan dasar tuntunannya pada masa hidupnya. Wallahu A’lam.
Berkata Syaikh Al-Albany dalam Qiyamu
Ramadhan hal. 21-22 : “Dan disyari’atkan bagi para perempuan untuk
menghadirinya (Jama’ah Tarawih,-pent.) sebagaimana dalam hadits Abu Dzar
yang berlalu, dan telah tsabit (tetap, syah) dari ‘Umar bahwa tatkala
beliau mengumpulkan manusia untuk Qiyam maka beliau menjadikan Ubay bin
Ka’ab untuk laki-laki dan Sulaiman bin Abi Hatsmah untuk para perempuan.
Dari ‘Arfajah Ats-Tsaqofy, beliau berkata : “Adalah ‘Ali bin Abi Tholib
memerintah manusia untuk melakukan Qiyam bulan Ramadhan dan beliau
menjadikan untuk laki-laki seorang imam dan untuk perempuan seorang
imam. Berkata (‘Arfajah) : “Saya adalah imam para perempuan”.
Saya berkata : Ini keadaannya menurutku bila masjidnya luas sehingga salah satu dari keduanya tidak mengganggu yang lainnya.”
Dan perlu diketahui bahwa syari’at
sholat Tarawih ini hanya dilakukan di bulan Ramadhan berdasarkan
keterangan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam hadits riwayat Al-Bukhary
dan Muslim bahwa pelaksanaan Tarawih secara berjama’ah ini dilakukan
oleh beliau di bulan Ramadhan. Bertolak dari sini, nampaklah kesalahan
sebahagian orang yang sering melakukan pelaksanaan Qiyamul Lail secara
berjama’ah di luar Ramadhan. Memang Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wa sallam kadang melakukan Qiyamul Lail secara berjama’ah di
rumahnya bersama Ibnu ‘Abbas dan juga pernah bersama Ibnu Mas’ud dan
pernah bersama Hudzaifah.
Bacaan Do'a Witir
Hukum Sholat Tarawih
Berkata Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’ 3/526: “Dan sholat Tarawih adalah sunnah menurut kesepakatan para ‘ulama.” Lihat juga Syarah Muslim 6/38. Dan berkata Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid 1/209 : “Dan (para ulama) sepakat bahwa Qiyam bulan Ramadhan sangat dianjurkan lebih dari seluruh bulan.” Berkata Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 2/601 : “Ia adalah sunnah muakkadah dan awal kali yang menyunnahkannya adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.”
Dan Al-Mardawy dalam Al-Inshof 2/180 juga memberi pernyataan sama dalam
madzhab Hanbaliyah namun beliau menyebutkan bahwa Ibnu ‘Aqil
menghikayatkan dari Abu Bakr Al-Hanbaly akan wajibnya.
Tidaklah diragukan bahwa sholat Tarawih adalah sunnah muakkadah berdasarkan dalil-dalil yang telah disebut di atas.
Baca juga : Al-Istidzkar 2/63-64, Syarhus Sunnah 4/118-119 dan Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah 7/194.
Namun para ulama berselisih pendapat
tentang mana yang afdhol dalam pelaksanaan sholat Tarawih, apakah
dilakukan secara berjama’ah di masjid atau sendiriaan di rumah?. Ada dua
pendapat di kalangan para ulama :
Baca : Syarah Muslim 6/38-39, Al-Majmu’
2/526, 528, Thorhut Tatsrib 3/94-97, Al-Mughny 2/605, Al-Istidzkar
2/71-73, Fathul Bari 4/252 dan Nailul Author 3/54.
Hukum Sholat Witir
Menurut jumhur ulama sholat witir hukumnya adalah sunnah muakkadah.
Ini pendapat Imam Malik, Asy-Syafi’iy, Ahmad, Ishaq dan lain-lainnya.
Di sisi lain Abu Hanifah berpendapat bahwa sholat witir hukumnya wajib.
Mereka berdalilkan dengan beberapa dalil, diantaranya hadits Buraidah
radhiyallahu ‘anhu riwayat Abu Daud dan lain-lainnya, Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : “Witir adalah
haq, siapa yang tidak witir maka bukanlah dari kami, witir adalah haq,
siapa yang tidak witir maka bukanlah dari kami, witir adalah haq, siapa
yang tidak witir maka bukanlah dari kami.” (Dihasankan oleh Syaikh
Muqbil dalam Al-Jami’ Ash-Shohih 2/159)
Tarjih
Yang benar dalam masalah ini bahwa sholat witir tidak wajib. Hal ini berdasarkan hadits Tholhah bin ‘Ubaidullah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, ketika Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menyebutkan kewajiban sholat lima waktu maka beliau di tanya, “Apakah ada kewajiban lain atasku” beliau menjawab : “Tidak, kecuali hanya sekedar sholat tathawwu’ (sholat sunnah).”
Yang benar dalam masalah ini bahwa sholat witir tidak wajib. Hal ini berdasarkan hadits Tholhah bin ‘Ubaidullah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, ketika Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menyebutkan kewajiban sholat lima waktu maka beliau di tanya, “Apakah ada kewajiban lain atasku” beliau menjawab : “Tidak, kecuali hanya sekedar sholat tathawwu’ (sholat sunnah).”
Dan
juga akan diterangkan tentang sholat witirnya Nabi shollallahu ‘alaihi
wa ‘ala alihi wa sallam di atas hewan tunggangannya padahal dimaklumi
bahwa sholat wajib tidaklah dilakukan di atas hewan tunggangan. Dan
masih ada dalil-dalil lain yang menunjukkan tidak wajibnya.Baca :
Al-Istidzkar 2/80, Al-Majmu’ 3/514-517, Al-Mughny 2/591-594, Al-Fatawa
23/88, Syarah Ibnu Rajab 6/210-212 dan Nailul Author 3/34.
Beberapa Kaifiyat Pelaksanaan Witir Dan Tarawih
Berikut ini beberapa kaifiyat pelaksanaan witir dan Tarawih beserta dalil-dalilnya :
Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla menyebutkan beberapa bentuk lain :
Demikian beberapa kaifiyat yang
disebutkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Sholatut Tarawih hal. 86-94 (Cet.
Kedua) dan Qiyamu Ramadhan hal. 27-30 dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla
3/42-48. Dan Syaikh Al-Albany juga menyebutkan kaifiyat lain yaitu sholat 11 raka’at ; 4 raka’at sekaligus dengan sekali salam kemudian 4 raka’at dengan sekali salam lalu 3 raka’at.
Sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
“Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidaklah menambah pada (bulan) Ramadhan dan tidak pula pada selain Ramadhan lebih dari sebelas raka'at. Beliau sholat empat (raka'at) jangan kamu tanya tentang baiknya dan panjangnya, kemudian beliau sholat empat (raka'at)n jangan kamu tanya tentang baiknya dan panjangnya kemudian beliau sholat tiga (raka'at)”.
Sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
“Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidaklah menambah pada (bulan) Ramadhan dan tidak pula pada selain Ramadhan lebih dari sebelas raka'at. Beliau sholat empat (raka'at) jangan kamu tanya tentang baiknya dan panjangnya, kemudian beliau sholat empat (raka'at)n jangan kamu tanya tentang baiknya dan panjangnya kemudian beliau sholat tiga (raka'at)”.
Namun ada perbedaan pendapat di kalangan para Ulama tentang kaifiyat ini.
Pendapat Abu Hanifah, Ats-Tsaury dan Al-Hasan bin Hayy boleh melakukan Qiyamul Lail 2 raka’at sekaligus, boleh 4 raka’at sekaligus, boleh enam raka’at sekaligus dan boleh 8 raka’at sekaligus, tidak salam kecuali di akhirnya. Kelihatannya pendapat ini yang dipegang oleh Syaikh Al-Albany sehingga beliau menetapkan kaifiyat sholat 11 raka’at ; 4 raka’at sekaligus dengan sekali salam kemudian 4 raka’at dengan sekali salam lalu 3 raka’at dengan sekali salam.
Pendapat Abu Hanifah, Ats-Tsaury dan Al-Hasan bin Hayy boleh melakukan Qiyamul Lail 2 raka’at sekaligus, boleh 4 raka’at sekaligus, boleh enam raka’at sekaligus dan boleh 8 raka’at sekaligus, tidak salam kecuali di akhirnya. Kelihatannya pendapat ini yang dipegang oleh Syaikh Al-Albany sehingga beliau menetapkan kaifiyat sholat 11 raka’at ; 4 raka’at sekaligus dengan sekali salam kemudian 4 raka’at dengan sekali salam lalu 3 raka’at dengan sekali salam.
Dan disisi lain, jumhur Ulama seperti
Malik, Asy-Syafi’iy, Ahmad, Ishaq, Sufyan Ats-Tsaury, Ibnul Mubarak,
Ibnu Abi Laila, Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, dan Ibnul Mundzir serta
yang lainnya menghikayatkan pendapat ini dari Ibnu ‘Umar, ‘Ammar
radhiyallahu ‘anhuma, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Asy-Sya’by, An-Nakha’iy,
Sa’id bin Jubair, Hammad dan Al-Auza’iy. Dan Ibnu ‘Abdil Barr berkata :
“Ini adalah pendapat (Ulama) Hijaz dan sebahagian (Ulama) ‘Iraq.”,
semuanya berpendapat bahwa sholat malam itu adalah dua raka’at-dua
raka’at yaitu harus salam pada setiap dua raka’at. Ini pula pendapat
yang dkuatkan oleh Syaikh Ibnu Baz beserta para Syaikh anggota Al-Lajnah
Ad-Da`imah, dan juga pendapat Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan lain-lainnya
sehingga mereka semua menyalahkan orang yang memahami hadits ‘Aisyah di
atas dengan kaifiyat sholat 11 raka’at ; 4 raka’at sekaligus dengan
sekali salam kemudian 4 raka’at dengan sekali salam lalu 3 raka’at, dan
menurut mereka pemahaman yang benar adalah bahwa 4 raka’at dalam hadits
itu adalah dikerjakan 2 raka’at 2 raka’at .
Tarjih
Yang kuat dalam masalah ini adalah
pendapat Jumhur Ulama berdasarkan hadits hadits ‘Abdullah bin ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa‘ala alihi wa sallam bersabda : “Sholat malam dua (raka’at) dua (raka’at)”
Hadits ini adalah berita namun bermakna perintah yaitu perintah untuk melakukan sholat malam dua dua raka’at. Demikian keterangan Syaikh Ibnu Baz dalam Majmu’ Fatawa beliau 11/323-324.
Hadits ini adalah berita namun bermakna perintah yaitu perintah untuk melakukan sholat malam dua dua raka’at. Demikian keterangan Syaikh Ibnu Baz dalam Majmu’ Fatawa beliau 11/323-324.
Baca pembahasan tentang masalah di atas
dalam : Al-Istidzkar 2/95-98, 104-106, Fathul Bari 4/191-198, Fatawa
Al-Lajnah Ad-Da`imah 7/199-200 dan Asy-Syarh Al-Mumti’ 4/18-20.
Dan juga para Ulama berselisih pendapat tentang dua raka’at setelah witir pada kaifiyat no. 4 dan 5, ada tiga pendapat di kalangan ulama :
Dan juga para Ulama berselisih pendapat tentang dua raka’at setelah witir pada kaifiyat no. 4 dan 5, ada tiga pendapat di kalangan ulama :
Tarjih
Tentunya dalil-dalil yang menjelaskan tentang kaifiyat itu adalah hujjah yang harus diterima tentang disyari’atkannya sholat dua raka’at setelah witir. Berkata Ibnu Taimiyah : “Dan kebanyakan Ahli Fiqh tidak mendengar tentang hadits ini (yaitu hadits tentang adanya dua raka’at setelah witir di atas,-pent.), kerena itu mereka mengingkarinya. Dan Ahmad dan selainnya mendengar (hadits) ini dan mengetahui keshohihannya dan Ahmad memberi keringanan untuk melakukan dua raka’at ini dan ia dalam keadaan duduk sebagaimana yang dikerjakan oleh (Nabi) shollallahu ‘alaihi wa sallam. Maka siapa yang melakukan hal tersebut tidaklah diingkari, akan tetapi bukanlah wajib menurut kesepakatan (para Ulama) dan tidak dicela orang yang meniggalkannya….”
Baca : Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 23/92-94, Fathul Bari Ibnu Rajab 6/260-264 dan Al- Mughny 2/281.
Tentunya dalil-dalil yang menjelaskan tentang kaifiyat itu adalah hujjah yang harus diterima tentang disyari’atkannya sholat dua raka’at setelah witir. Berkata Ibnu Taimiyah : “Dan kebanyakan Ahli Fiqh tidak mendengar tentang hadits ini (yaitu hadits tentang adanya dua raka’at setelah witir di atas,-pent.), kerena itu mereka mengingkarinya. Dan Ahmad dan selainnya mendengar (hadits) ini dan mengetahui keshohihannya dan Ahmad memberi keringanan untuk melakukan dua raka’at ini dan ia dalam keadaan duduk sebagaimana yang dikerjakan oleh (Nabi) shollallahu ‘alaihi wa sallam. Maka siapa yang melakukan hal tersebut tidaklah diingkari, akan tetapi bukanlah wajib menurut kesepakatan (para Ulama) dan tidak dicela orang yang meniggalkannya….”
Baca : Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 23/92-94, Fathul Bari Ibnu Rajab 6/260-264 dan Al- Mughny 2/281.
Bacaan Dalam Sholat Tarawih Dan Witir
Berkata Syaikh Al-Albany dalam Qiyamu
Ramadhan hal. 23-25 : “Adapun bacaan dalam sholat lail pada Qiyam
Ramadhan dan selainnya, maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa
sallam tidak menetapkan suatu batasan tertentu yang tidak boleh
dilampaui dengan bentuk tambahan maupun pengurangan. Kadang beliau
membaca pada setiap raka’at sekadar “Ya Ayyuhal Muzzammil” dan ia
(sejumlah) dua puluh ayat dan kadang sekadar lima puluh ayat. Dan beliau
bersabda :
“Siapa yang sholat dalam semalam dengan seratus ayat maka tidaklah ia terhitung dalam orangorang yang lalai”
“… dengan dua ratus ayat maka sungguh ia terhitung dari orang-orang yang Qonit (Khusyu’, panjang sholatnya,-pent.) lagi Ikhlash”
“Siapa yang sholat dalam semalam dengan seratus ayat maka tidaklah ia terhitung dalam orangorang yang lalai”
“… dengan dua ratus ayat maka sungguh ia terhitung dari orang-orang yang Qonit (Khusyu’, panjang sholatnya,-pent.) lagi Ikhlash”
Dan beliau shollallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wa sallam pada suatu malam dan beliau dalam keadaan sakit membaca
tujuh (surah) yang panjang, yaitu surah Al-Baqarah, Ali ‘Imran,
An-Nisa`, Al- Ma`idah, Al-An’am, Al-A’raf dan At-Taubah.
Dan dalam kisah sholat Hudzaifah bin Al-Yaman di belakang Nabi ‘Alaihish Sholatu was Salam bahwa beliau shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam membaca dalam satu raka’at Al-Baqarah kemudian An-Nisa’ kemudian Ali ‘Imran dan beliau membacanya lambat lagi pelan.
Dan telah tsabit (syah, tetap) dengan sanad yang paling shohih bahwa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu tatkala memerintah Ubay bin Ka’ab sholat mengimami manusia dengan sebelas raka’at dalam Ramadhan, maka Ubay radhiyallahu ‘anhu membaca dua ratus ayat sampai orang-orang yang di belakangnya bersandar di atas tongkat karena lamanya berdiri dan tidaklah mereka bubar kecuali pada awal-awal fajar.
Dan juga telah shohih dari ‘Umar bahwa beliau memanggil para pembaca Al-Qur`an di bulan Ramadhan kemudian beliau memerintah orang yang paling cepat bacaannya untuk membaca 30 ayat, orang yang pertengahan (bacaannya) 25 ayat dan orang yang lambat 20 ayat.
Dibangun di atas hal tersebut, maka
kalau seseorang sholat sendirian disilahkan memperpanjang sholatnya
sesuai dengan kehendaknya, dan demikian pula bila ada yang sholat
bersamanya dari kalangan orang yang sepakat dengannya (dalam
memperpanjang,-pent.), dan semakin panjang maka itu lebih utama, akan
tetapi jangan ia berlebihan dalam memperpanjang sampai menghidupkan
seluruh malam kecuali kadang-kadang, dalam rangka mengikuti Nabi
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang bersabda : “Dan
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad (shollallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wasallam)”
Dan apabila ia sholat sebagai imam maka hendaknya ia memperpanjang dengan sesuatu yang tidak memberatkan orang-orang di belakangnya, berdasarkan sabda beliau shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :
“Apabila salah seorang dari kalian Qiyam mengimami manusia maka hendaknya ia memperingan sholatnya karena pada mereka ada anak kecil, orang besar, pada mereka orang lemah, orang sakit dan orang yang mempunyai keperluaan. Dan apabila ia Qiyam sendiri maka hendaknya ia memperpanjang sholatnya sesuai dengan kehendaknya”.”
Demikian keterangan Syaikh Al-Albany
tentang bacaan pada Qiyamul lail, adapun dalam sholat witir, berikut ini
beberapa hadits yang menjelaskannya, diantaranya adalah hadits Ubay bin
Ka’ab riwayat Imam Ahmad dan lain-lainnya, beliau berkata :
“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam membaca pada witir dengan “Sabbihisma Rabbikal A’la”, “Qul Ya Ayyuhal Kafirun” dan “Qul Huwallahu Ahad”. Apabila beliau salam, belaiu berkata : “Subhanal Malikil Quddus” 3 tiga kali.” (Dishohihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’Ash-Shohih 2/160-161.)
“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam membaca pada witir dengan “Sabbihisma Rabbikal A’la”, “Qul Ya Ayyuhal Kafirun” dan “Qul Huwallahu Ahad”. Apabila beliau salam, belaiu berkata : “Subhanal Malikil Quddus” 3 tiga kali.” (Dishohihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’Ash-Shohih 2/160-161.)
Dan dalam hadits ‘Abdurrahman bin Abi Abza riwayat Ahmad dan lainnya, beliau berkata : “Sesungguhnya beliau membaca pada witir dengan “Sabbihisma Rabbikal A’la”, “Qul Ya Ayyuhal Kafirun” dan “Qul Huwallahu Ahad”. Apabila beliau salam, belaiu berkata : “Subhanal Malikil Quddus, Subhanal Malikil Quddus, Subhanal Malikil Quddus.”3 dan beliau mengangkat suaranya dengan itu .” (Dishohihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’Ash-Shohih 2/161.)
Berdasarkan dua hadits di atas,
Ats-Tsaury, Ishaq dan Abu Hanifah menganggap sunnah membaca tiga surah
di atas dalam sholat witir. Imam Malik dan Asy-Syafi’iy juga menganggap
sunnah hal tersebut namun mereka dalam raka’at ketiga selain dari surah
Al-Ikhlash juga menganggap sunnah menambahnya dengan surah Al-Falaq dan
surah An-Nas. Namun hadits mengenai tambahan dua surah tersebut dianggap
lemah oleh Imam Ahmad, Ibnu Ma’in dan Al- ‘Uqaily, karena itu
seharusnya orang yang sholat witir tiga raka’at hanya terbatas dengan
membaca surah Al-Ikhlash pada raka’at ketiga.
Syaikh Al-Albany dalam Sifat Sholat An-Nabi hal. 122 (Cet. Kedua Maktabah Al-Ma’arif) juga menshohihkan hadits bahwa membaca dalam raka’at witir dengan seratus ayat dari An-Nisa`.
Syaikh Al-Albany dalam Sifat Sholat An-Nabi hal. 122 (Cet. Kedua Maktabah Al-Ma’arif) juga menshohihkan hadits bahwa membaca dalam raka’at witir dengan seratus ayat dari An-Nisa`.
Do'a Setelah Sholat Lail & Sholat Witir
Pertama, sesungguhnya
sepertiga malam terakhir termasuk waktu yang mustajab untuk berdoa
kepada Allah. Karena Allah menjanjikan akan mengabulkan doa di waktu
ini. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَنْزِلُ
رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ
الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ: مَنْ
يَدْعُونِي، فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ
يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ
“Allah Subhanahu wa Ta’ala turun ke
langit dunia setiap malam, ketika tersisa sepertiga malam terakhir.
Kemudian Allah berfirman: Siapa yang berdoa kepada-Ku akan Aku ijabahi
doanya, siapa yang meminta-Ku akan Aku beri dia, dan siapa yang minta
ampunan kepada-Ku akan Aku ampuni dia.” (HR. Bukhari 1145, Muslim 758, Abu Daud 1315, dan yang lainnya).
Kedua, berdasarkan
hadis di atas, di sepertiga malam terakhir, Anda bisa memohon kepada
Allah apapun yang Anda inginkan, selama tidak melanggar larangan dalam
berdoa. Anda bisa berdoa dengan bahasa Arab, bahasa Indonesia atau
bahasa apapun yang Anda pahami. Manfaatkan kesempatan sepertiga malam
terakhir untuk banyak memohon kepada Allah. Memohon ampunan, memohon
hidayah, memohon kebaikan dunia akhirat, dan memohon kepada Allah untuk
menyelesaikan masalah Anda. Tidak ada doa khusus yang harus Anda baca
untuk permohonan ini.
Kapan Waktunya?
Bisa Anda lakukan setiap selesai shalat 2
rakaat, atau seusai tahajud sebelum witir, atau ketika sujud, atau
menjelang salam sebelum tasyahud.
Ketiga, doa khusus
untuk dibaca ketika tahajud berdasarkan hadis yang shahih, terdapat pada
doa iftitah dan doa setelah witir. Berikut rinciannya:
Doa yang dianjurkan untuk dibaca ketika iftitah:
1. Dari Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf, beliau bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Apa doa yang dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengawali shalat malam beliau?”
Aisyah menjawab: “Beliau memulai shalat malam beliau dengan membaca doa:
اللَّهُمَّ
رَبَّ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَوَاتِ
وَالْأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ
عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ، اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ
فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ أَنْتَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى
صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Ya Allah, Tuhannya Jibril, mikail, dan
israfil. Pencipta langit dan bumi. Yang mengetahui yang gaib dan yang
nampak. Engkau yang memutuskan diantara hamba-Mu terhadap apa yang
mereka perselisihkan. Berilah petunjuk kepadaku untuk menggapai
kebenaran yang diperselisihan dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkau
memberi petunjuk kepada siapa saja yang Engkau kehendaki menuju jalan
yang lurus.” (HR. Muslim 770, Abu daud 767, Turmudzi 3420 dan yang
lainnya)
2. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila melakukan shalat di tengah malam, beliau membaca doa iftitah:
اَللّهُمَّ
لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ نُوْرُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ
فِيْهِنَّ، وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ قَيِّمُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ
وَمَنْ فِيْهِنَّ، وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ رَبُّ السَّمَاوَاتِ
وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، أَنْتَ الْحَقُّ، وَوَعْدُكَ الْحَقُّ،
وَقَوْلُكَ الْحَقُّ، وَلِقَاؤُكَ الْحَقُّ، وَالْجَنَّةُ حَقٌّ،
وَالنَّارُ حَقٌّ، وَالسَّاعَةُ حَقٌّ،
اَللّهُمَّ
لَكَ أَسْلَمْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ، وَإِلَيْكَ
أَنَبْتُ، وَبِكَ خَاصَمْتُ، وَإِلَيْكَ حَاكَمْتُ. فَاغْفِرْ لِيْ مَا
قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ، وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ، أَنْتَ
الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ، أَنْتَ إِلٰهِيْ لاَ إِلٰهَ إِلاَّ
أَنْتَ
“Ya Allah, hanya milik-Mu segala
puji, Engkau cahaya langit dan bumi serta siapa saja yang ada di sana.
Hanya milikMu segala puji, Engkau yang mengatur langit dan bumi serta
siapa saja yang ada di sana. Hanya milikMu segala puji, Engkau pencipta
langit dan bumi serta siapa saja yang ada di sana. Engkau Maha benar,
janji-Mu benar, firman-Mu benar, pertemuan dengan-Mu benar. Surga itu
benar, neraka itu benar, dan kiamat itu benar. Ya Allah, hanya kepada-Mu
aku pasrah diri, hanya kepada-Mu aku beriman, hanya kepada-Mu aku
bertawakkal, hanya kepada-Mu aku bertaubat, hanya dengan petunjuk-Mu aku
berdebat, hanya kepada-Mu aku memohon keputusan, karena itu, ampunilah
aku atas dosaku yang telah lewat dan yang akan datang, yang kulakukan
sembunyi-sembunyi maupun yang kulakukan terang-terangan. Engkau yang
paling awal dan yang paling akhir. Engkau Tuhanku. Tiada tuhan yang
berhak disembah kecuali Engkau.” (HR. Ahmad 2710, Muslim 769, Ibn Majah 1355).
3. Dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bangun malam, beliau bertakbir, kemudian membaca:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ، وَتَعَالَى جَدُّكَ، وَلَا إِلَهَ غَيْرَكَ
Maha Suci Engkau Ya Allah, aku
memuji-Mu, Maha Mulia nama-Mu, Maha Tinggi keagungan-Mu, tiada tuhan
yang berhak disembah selain Engkau. Kemudian membaca:
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
Tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah (3 kali)
dilanjutkan dengan membaca:
اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا
Allah Maha Besar (3 kali)
(HR. Abu Daud 775, Ad-Darimi 1275, dan dishahihkan al-Albani)
Doa yang Dibaca Setelah Witir
Doa pertama
سُبْحَانَ الـمَلِكِ القُدُّوْسِ
SUBHAANAL MALIKIL QUDDUUS
“Mahasuci Dzat yang Merajai lagi Mahasuci.”
Hadis Selengkapnya:
Dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَلَّمَ فِي الْوِتْرِ، قَالَ: سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah salam shalat witir, beliau membaca: SUBHAANAL MALIKIL QUDDUUS. (HR. Abu Daud 1430; dishahihkan al-Albani)
Dalam riwayat Nasa’i dari Abdurrahman bin Abza radhiyallahu ‘anhu, terdapat tambahan:
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوتِرُ بِسَبِّحِ اسْمَ
رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وَقُلْ هُوَ
اللَّهُ أَحَدٌ، وَكَانَ يَقُولُ إِذَا سَلَّمَ: «سُبْحَانَ الْمَلِكِ
الْقُدُّوسِ» ثَلَاثًا، وَيَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالثَّالِثَةِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melakukan witir dengan membaca surat Al-A’la (rakaat pertama), surat
Al-Kafirun (rakaat kedua), dan surat Al-ikhlas (rakaat ketiga). Setelah
salam, beliau membaca: subhaanal malikil qudduus, 3 kali. Beliau
keraskan yang ketiga. (HR. Nasa’i 1732 dan dishahihkan al-Albani)
Dalam riwayat yang lain, terdapat tambahan:
… طَوَّلَ فِي الثَّالِثَةِ
“Beliau baca panjang yang ketiga.” (HR. Nasa’i 1734 dan dishahihkan al-Albani)
Tambahan “Rabbil Malaaikati war Ruuh”
Disebutkan dalam riwayat Thabrani adanya tambahan:
رَبِّ الْمَلَائِكَةِ وَالرُّوحِ
RABBIL MALAAIKATI WAR-RUUH
Tuhan para malaikat dan ar-Ruh
Dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan:
فِي الْأَخِيرَةِ يَقُولُ: رَبِّ الْمَلَائِكَةِ وَالرُّوحِ
Di bagian akhir beliau membaca: RABBIL MALAAIKATI WAR-RUUH. (HR. Ad-Daruquthni 1660. Dalam Fatwa islam (no. 14093) dinyatakan: sanadnya shahih, dan disebutkan Ibnul Qoyim dalam Zadul Ma’ad (1/323)).
Keterangan:
Dari beberapa riwayat di atas, dapat kita simpulkan terkait bacaan doa ini:
1. Doa ini dibaca tepat setelah salam shalat witir
2. Doa ini dibaca tiga kali
3. Pada bacaan kali ketiga, dikeraskan dan dipanjangkan “Subhaaanal malikil qudduuuuu … ss”.
4. Disambung dengan membaca “Rabbil malaaikati war ruuh…”
Kalimat: “Subbuuhun qudduusun rabbul malaaikati war ruuh”
Kalimat termasuk salah satu doa yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika rukuk atau sujud.
Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يقول في ركوعه وسجوده: سبوح قدوس، رب الملائكة والروح
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca doa ketika rukuk dan sujud beliau: Subbuuhun qudduusun…dst. (HR. Muslim 487).
Mengingat lafadz Subbuuhun qudduusun
adalah doa sujud atau rukuk ketika shalat, sehingga tambahan ini tidak
ada hubungannya dengan shalat witir. Karena tidak perlu dibaca seusai
witir.
Allahu a’lam
Doa Kedua
اللَّهُمَّ
إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ ، وَبِـمُعَافَاتِكَ مِنْ
عُقُوبَـتِكَ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ ، لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ
أَنْتَ ، كَمَا أَثْــــنَــــيْتَ عَلَى نَــــفْسِكَ
ALLAHUMMA INNII A-‘UUDZU BI
RIDHAA-KA MIN SAKHATIK, WA BI MU’AAFATIKA MIN ‘UQUUBATIK, WA A-‘UUDZU
BIKA MIN-KA, LAA UH-SHII TSA-NAA-AN ‘ALAIKA ANTA, KAMAA ATS-NAITA ‘ALAA
NAFSIK
“Ya Allah, aku berlindung dengan
ridha-Mu dari kemurkaan-Mu, aku berlindung dengan maaf-Mu dari
hukuman-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa-Mu. Aku tidak bisa
menyebut semua pujian untuk-Mu, sebagaimana Engkau memuji diri-Mu
sendiri.”
Hadis selengkapnya:
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan:
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ فِي
وِتْرِهِ: «اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ،…
Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di penghujung shalat witirnya, beliau membaca: ALLAHUMMA INNII A-‘UUDZU BI RIDHAA-KA MIN SAKHATIK… (HR. An-Nasa’i 1747, Abu Daud 1427, dan Turmudzi 3566; dinilai shahih oleh al-Albani)
Kapankah doa ini dibaca?
Pada hadis di atas tidak dijelaskan kapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca doa tersebut ketika shalat witir. Dalam catatan untuk Sunan An-Nasa’i, As-Sindi mengatakan:
قوله:
” كان يقول في آخر وتره”: يحتمل أنه كان يقول في آخر القيام ، فصار هو من
القنوت ؛ كما هو مقتضى كلام المصنف، ويحتمل أنه كان يقول في قعود التشهد ،
وهو ظاهر اللفظ
Keterangan beliau “di penghujung shalat
witirnya, beliau membaca…” mungkin maknanya adalah beliau baca di akhir
tahajud, sehingga itu termasuk doa qunut, sebagaimana isyarat keterangan
An-Nasa’i, mungkin juga dimaknai bahwa doa ini dibaca ketika duduk
tasyahud akhir, dan ini makna yang tersirat dari hadis tersebut.
(Dinukil dari Bughyatul Mutathawi’, hlm. 30).
Akan tetapi disebutkan dalam kitab Amalul Yaum wa Lailah karya an-Nasai, demikian pula ibnu Sunni, bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu mengatakan:
بت
عند رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات ليلة ، فكنت أسمعه إذا فرغ من صلاته
وتبوأ مضجعه يقول : اللهم إني أعوذ بمعافاتك من عقوبتك …
Saya menginap di rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di suatu malam. Ketika beliau usai shalat dan bersiap di tempat tidurnya, beliau membaca: ALLAHUMMA INNII A-‘UUDZU BI MU’AAFATIKA MIN ‘UQUUBATIK, … dst. (Muntaqa Amalul Yaum wa Lailah An-Nasai, Hal. 25).
Diantara kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau kembali ke tempat tidur seusai melaksanakan shalat tahajud.
Sambil mempersiapkan tempat tidurnya, beliau membaca doa tersebut.
Sementara itu, disebutkan dalam riwayat yang lain, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan:
فَقَدْتُ
رَسُولَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَانْتَهَيْتُ
إِلَيْهِ وَهُوَ سَاجِدٌ وَقَدَمَاهُ مَنْصُوبَتَانِ وَهُوَ يَقُولُ:
«اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ،
Saya kehilangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
di suatu malam, ternyata aku dapati beliau dalam keadaan sedang sujud,
dan dua kaki beliau dipancangkan , sementara beliau membaca: ALLAHUMMA INNII A-‘UUDZU BI RIDHAA-KA MIN SAKHATIK…
(HR. Ahmad 25655, An-Nasa’i 1100, Ibn Majah 3841, Ibnu Hibban dalam
shahihnya 1932, Ibn Khuzaimah dalam shahihnya 655, dan dishahihkan
al-Albani)
Kesimpulan:
Berdasarkan dua riwayat ini, dapat kita simpulkan bahwa ada dua tempat untuk membaca doa ini ketika witir atau tahajud:
a. Setelah shalat witir
b. Ketika sujud dalam shalat
Allahu a’lam