Hukum shalat tarawih adalah sunnah yang disunnahkan Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam sebuah hadits disebutkan:
“Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, ‘Pada suatu malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di masjid. Ada beberapa orang yang turut shalat bersama beliau, kemudian datang satu qabilah juga turut shalat bersama beliau. Jumlah orang yang shalat bersama beliau menjadi semakin bertambah. Kemudian, pada malam ketiga atau keempat banyak orang berkumpul menunggu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi beliau tidak keluar (shalat) bersama mereka. Ketika tiba waktu pagi beliau bersabda, ‘Sesungguhnya aku melihat apa yang telah kamu lakukan, maka apa yang mencegah aku keluar ialah aku takut sekiranya perkara ini diwajibkan atas kalian.’ Beliau bersabda, ‘Peristiwa ini terjadi pada bulan Ramadhan.’” (HR. Muttafaqun Alaih).
Sedangkan jumlahnya adalah 11 rakaat, seperti yang dijelaskan dalam Shahihain:
“Diriwayatkan dari Abu Salamah bin Abdul Rahman berkata, ‘Sesungguhnya dia bertanya kepada ‘Aisyah Radhiallahu ‘anha, ‘Bagaimanakah shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan?’ ‘Aisyah menjawab, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menambah bilangan rakaat shalatnya lebih dari 11 rakaat, baik pada bulan Ramadhan ataupun pada bulan-bulan lain.’” (HR. Muttafaqun ‘alaih).
Menurut kesepakatan para sahabat, tidak diragukan lagi bahwa hadits itu menjadi hujjah yang kuat, karena di dalamya ada para Khulafaurrasyidin yang Nabi memerintahkan agar mereka diikuti dan karena mereka adalah sebaik-baik generasi umat ini.
Ketahuilah, bahwa perbedaan jumlah rakaat Tarawih dan sebagainya yang memungkinkan di dalamnya untuk berijtihad, tidak boleh menjadi sebab perselisihan dan perpecahan antara umat Islam khusunya, karena para salaf juga terbiasa mengalami perbedaan pendapat. Tidak ada dalil yang melarang untuk melakukan ijtihad di dalamnya. Alangkah baiknya perkataan salah seorang ahlul ilmi kepada seseorang yang berbeda dengannya dalam ijtihad, “Walaupun kamu berbeda pendapat denganku, tetapi kamu sama denganku, yaitu masing-masing kita berpendapat wajib mengikuti kebenaran yang diperoleh melalui ijtihad.”
Kami memohon kepada Allah, semoga Dia memberikan taufik kepada kita semua dalam hal yang dicintai dan diridhai-Nya.
“Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, ‘Pada suatu malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di masjid. Ada beberapa orang yang turut shalat bersama beliau, kemudian datang satu qabilah juga turut shalat bersama beliau. Jumlah orang yang shalat bersama beliau menjadi semakin bertambah. Kemudian, pada malam ketiga atau keempat banyak orang berkumpul menunggu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi beliau tidak keluar (shalat) bersama mereka. Ketika tiba waktu pagi beliau bersabda, ‘Sesungguhnya aku melihat apa yang telah kamu lakukan, maka apa yang mencegah aku keluar ialah aku takut sekiranya perkara ini diwajibkan atas kalian.’ Beliau bersabda, ‘Peristiwa ini terjadi pada bulan Ramadhan.’” (HR. Muttafaqun Alaih).
Sedangkan jumlahnya adalah 11 rakaat, seperti yang dijelaskan dalam Shahihain:
“Diriwayatkan dari Abu Salamah bin Abdul Rahman berkata, ‘Sesungguhnya dia bertanya kepada ‘Aisyah Radhiallahu ‘anha, ‘Bagaimanakah shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan?’ ‘Aisyah menjawab, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menambah bilangan rakaat shalatnya lebih dari 11 rakaat, baik pada bulan Ramadhan ataupun pada bulan-bulan lain.’” (HR. Muttafaqun ‘alaih).
Menurut kesepakatan para sahabat, tidak diragukan lagi bahwa hadits itu menjadi hujjah yang kuat, karena di dalamya ada para Khulafaurrasyidin yang Nabi memerintahkan agar mereka diikuti dan karena mereka adalah sebaik-baik generasi umat ini.
Ketahuilah, bahwa perbedaan jumlah rakaat Tarawih dan sebagainya yang memungkinkan di dalamnya untuk berijtihad, tidak boleh menjadi sebab perselisihan dan perpecahan antara umat Islam khusunya, karena para salaf juga terbiasa mengalami perbedaan pendapat. Tidak ada dalil yang melarang untuk melakukan ijtihad di dalamnya. Alangkah baiknya perkataan salah seorang ahlul ilmi kepada seseorang yang berbeda dengannya dalam ijtihad, “Walaupun kamu berbeda pendapat denganku, tetapi kamu sama denganku, yaitu masing-masing kita berpendapat wajib mengikuti kebenaran yang diperoleh melalui ijtihad.”
Kami memohon kepada Allah, semoga Dia memberikan taufik kepada kita semua dalam hal yang dicintai dan diridhai-Nya.