Pejabat Korup Menjadi Ancaman Negara
Semakin banyak kepala daerah, pejabat negara, dan mantan menteri yang menjadi tersangka. Semakin banyak pula yang menjadi penghuni penjara. Di era reformasi ini semuanya menjadi transparan, tidak ada yang dapat ditutup-tutupi. Anggaran negara yang jumlahnya mencapai Rp 1600 triliun, hanya menjadi rebutan para koruptor, dan menyejahterakan rakyat.
Seperti diungkapkan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, mengakui semakin banyaknya para pejabat di daerah yang menjadi tersangka kasus korupsi. Dampaknya, roda pemerintahan daerah menjadi tidak dapat berfungsi secara maksimal. Juru bicara Dalam Negeri, Reydonmyzar Moenek, selama periode 2004-2012, terdapat 173 kepala daerah yang menjadi saksi, tersangka dan terdakwa. Hampir 70 persen lebih yang sudah di vonis, dan memiliki kekuatan hukum.
Sebagian besar mereka terjerat kasus hukum, umumnya akibat adanya politik uang. Pilkada yang berlangsung di daerah-daerah, semuanya sarat dengan “money politik”, tidak ada yang tidak menggunakan uang. Para pejabat daerah yang ingin menjadi kepala daerah, sebagian besar mereka terlibat dalam “money politik”.
Di Indonesia terdapat 495 kepala daerah, kabupaten/kota, dan 33 propinsi. Jumlah kepala daerah yang menjadi tersangka sekarang jumlahnya sudah mencapai 173 pejabat. Artinya seperti tiga pejabat di daerah sudah menjadi tersangka. Dari 33 gubernur, sudah 18 belas gubernur yang menjadi tersangka.
Menurut Moenek, modal dibutuhkan menjadi bupati paling sedikit Rp 80 miliar. Sedangkan menjadi gubernur memerlukan uang paling sedikit Rp 100 miliar. Bahkan, bisa lebih besar lagi, jumlah yang dibutuhkan oleh seorang calon bupati/walikota/gubernur. Bisa mencapai ratusan miliar. Inilah yang menjadi sumber malapetaka di Indonesia di masa depan.
APBN yang jumlahnya Rp.1600 triliun itu, hampir sebagian besar, mencapai 70 persen digunakan menggaji para pegawai pemerintah dan pejabat. APBN yang jumlahnya Rp 1600 triliun itu, sebagian besar hanya untuk gaji pejabat, fasilitas pejabat, bonus, tunjangan dan berbagai fasilitas lainnya yang disediakan negara kepada para pejabat. Termasuk biaya pergi plesiran ke luar negeri.
Sehingga, sangat minim yang digunakan bagi pembangunan. Padahal penerimaan APBN yang paling besar dari pajak. Artinya sumber pendanaan negara yang paling besar dari rakyat. Tetapi, uang rakyat dikorup para pejabat, dan membuat rakyat semakin miskin, dan jauh dari sejahtera.
Belum lagi kalau melihat kasus-kasus korupsi di sektor pajak, di mana dalam satu kasus, seperti Gayus sudah merugikan uang negara dalam jumlah besar, ratusan miliar. Itu baru satu kasus. Bila dibuka kasus korupsi di sektor pajak, semakin nampak lebih besar lagi kerugian negara.
Apalagi di era partai-partai politik, bersamaan banyaknya pejabat yang berasal dari partai politik, semakin banyak pula penyelewengan yang terjadi di seluruh level dan tingkatan. Korupsi sudah bersifat sistemik. Kondisi ini sangat mengancam negara. Negara dapat terancam menjadi bangkrut. Akibat korupsi.
Apalagi pemerintahan yang dipimpin SBY, bersikap “ambigu” (mendua) terhadap korupsi. Tidak tegas. Karena partai yang menjadi “the rulling party”, partai yang berkuasa, pengurus dan kadernya banyak yang tersangkut dan terlibat korupsi secara luas, dan semuanya itu, menyebabkan amboradulnya sistem politik di Indonesia. Partai Demokrat, yang Bendahara Umumnya, Nazaruddin, melakukan “mega” korupsi, dan menyebutkan sejumlah pimpinan partai terlibat, ini membuat negara menjadi semakin kelam. Nilai korupsinya mendacapai triliunan.
Indonesia sebagai sebuah negara bisa terancam masa depannya, bila korupsi ini sudah sangat sistemik, dan yang melakukan korupsi para pejabat, dan para pemimpin partai, dan kepala pemerintahan tidak bisa bertindak dengan tegas, karena ketika akan bertindak, justeru yang melakukan korupsi itu, tak lain para pengurus partai, yang sejatinya temannya sendiri.
SBY yang menjadi Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, menjadi ragu, dan tidak tegas, karena yang melakukan korupsi adalah pengurus partainya. Semuanya menjadi sangat merusak. Istilahnya korupsi sekarang ini sudah “berjamaah”.
Tidak ada yang tulus membela rakyat. Itu terjadi di semua partai politik. Termasuk mereka yang mengaku yang membela “wong cilik”, yang sejatinya mereka justeru menghancurkan “wong cilik”. Termasuk partai yang suka mengumbar kata "wong cilik". Mereka ketika berkuasa lebih menindas,dan merugikan rakyat jelata. Wallahu’alam.
Sumber: VOA Islam
0 komentar: