phone: 0817714664
e-mail: albatholcare@gmail.com
round minus
  • img
  • img
  • img
  • img
  • img
round plus

Bantahan Terhadap Pendapat yang Mewajibkan Qurban

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang menjadikan banyak syariat untuk kebaikan hamba-hamba-Nya. Shalawat dan salam untuk Rasulullah, yang keluarga dan sahabatnya.

Sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla mensyariatkan ‘udhiyah (berkorban) sebagai sarana untuk bertaqarrub kepada-Nya dan sebagai kemurahan untuk umat manusia pada hari raya. Allah telah memerintahkan kepada bapak para Nabi, Ibrahim 'alaihis salam supaya menyembelih anaknya, Ismail. Lalu beliau menyambut perintah Allah tadi tanpa ragu. Karenanya Allah Ta’ala memberikan ganti dari langit sebagai tebusan bagi anaknya, “Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS. Al-Shafat: 107). Sejak saat itulah, umat manusia menyembelih hewan ternak dalam rangka melaksanakan perintah Allah dengan mengalirkan darah. Dan berkurban merupakan amal ketaatan yang sangat utama.

Kemudian sunnah ini diperintahkan kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam dan beliau telah melaksanakannya. Diriwayatkan dalam Shahihain, “Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam berkurban dua ekor domba yang putih dan bertanduk. Beliau menyembelih sendiri dengan kedua tangannya sambil menyebut nama Allah dan bertakbir serta meletakkan kakinya di samping lehernya.

Dan dalam riwayat lain dari Ibnu Umar radhiyallaahu 'anhuma, “Adalah Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam selama sepuluh tahun tinggal di Madinah, beliau selalu menyembelih kurban.” (HR. Ahmad dan al-Tirmidzi, sanadnya hasan).

Hukum Berkurban Bagi yang Mampu

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum berkurban bagi yang mampu, antara wajib dan sunnah mu’akkadah. Jumhur (mayoritas ulama: Malik, al-Syafi'i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, al-Muzani, Ibnu al-Munzir, Dawud, Ibnu Hazm, dan selainnya) berpendapat, berkurban hukumnya sunnah mu’akkadah. Meninggalkannya, padahal mampu, termasuk sikap yang dibenci (makruh). Dalil yang dijadikan sandaran oleh mereka adalah:

1. Hadits Ummu Salamah Radhiyallahu 'Anha, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

إِذَا دَخَلَتْ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا

"Apabila telah masuk sepuluh hari (pertama Dzulhijjah) dan salah seorang kalian hendak berkurban maka Janganlah dia memotong sedikitpun dari rambut dan kulit luarnya.” (HR. Muslim, al-Nasai, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Letak pendalilannya, lafadz "Dan salah seorang kalian hendak berkurban," adalah dalil bahwa kurban tidak wajib.

2. Tidak ada riwayat shahih dari salah seorang sahabat pun yang mengatakan bahwa kurban adalah wajib. Al-mawardi berkata, "Diriwayatkan dari para sahabat Radhiyallahu 'Anhum yang menyimpulkan ijma' atas tidak wajibnya berkurban." (Al-Hawi: 19/85 dan al-Muhalla: 7/358. Dinukil dari Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal: 3/528)

3. Terdapat keterangan bahwa sebagian ulama salaf yang sengaja tidak berkurban untuk menunjukkan bahwa itu tidak wajib.

  • Diriwayatkan dari Abu Sarihah, ia berkata, "Aku melihat Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu 'Anhuma mereka tidak berkurban." (Shahih, diriwayat oleh Abdurrazaq dan al-Baihaqi)
  • Diriwayatkan dari Abu Mas'ud al-Anshari, ia berkata, "Sesungguhnya aku tidak berkurban, padahal aku adalah orang yang berkelapangan, karena aku khawatir tetanggaku berpendapat hal itu wajib atasku." (Shahih, diriwayat oleh Abdurrazaq dan al-Baihaqi)

Bantahan Terhadap Pendapat yang Mewajibkan

Ada sebagian ulama yang berpendapat, berkurban itu wajib bagi setiap keluarga muslim yang mampu melaksanakannya. Hal tersebut didasarkan kepada beberapa dalil berikut ini:

1. Firman Allah Ta’ala,

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.” (QS. Al-Kautsar: 2)

Ayat tersebut, oleh para ulama, memiliki lima pendapat. Namun yang paling kuat dan jelas, maksudnya adalah shalat dan menyembelih hewan kurban untuk Allah.

2. Hadits Jundab bn Sufyan al-Bajali Radhiyallahu 'Anhu, Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,

مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُعِدْ مَكَانَهَا أُخْرَى وَمَنْ لَمْ يَذْبَحْ فَلْيَذْبَحْ

Siapa yang telah menyembelih (hewan kurban) sebelum shalat, hendaknya dia menggantinya dengan yang lain. Dan siapa yang belum menyembelih hendaknya ia menyembelih.” (Muttafaaq ‘alaih)

- Dijawab: maksudnya adalah menjelaskan syarat syar'i berkurban. Ini sebagaimana sabda beliau kepada orang yang shalat Dhuha secara rutin sebelum matahari terbit, "Jika matahari telah terbit maka ulangilah shalatmu." (Disebutkan dalam Fathul Baari)

2. Hadits al-Bara', Abu Burdah Radhiyallahu 'Anhu, berkata, "Wahai Rasulullah, aku menyembelih sebelum shalat, dan aku memiliki kambing jadz'ah yang lebih baik daripada musinnah. Lalu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, "Jadikanlah itu sebagai penggantinya, dan ini tidak dibolehkan bagi seorangpun setelahmu." (HR. Al-Bukhari)

- Dijawab: Al-Khathabi menjawab dalil di atas yang dijadikan sebagai argument wajibnya berkurban, "Hal ini tidak menunjukkan seperti yang mereka katakan, karena hukum-hukum pokok (ushul) memperhatikan pengganti-penggantinya, baik perkara wajib maupun sunnah. Ini hanyalah sebagai anjuran, sebagaimana hukum asalanya juga sebagai anjuran. Dan maknanya, sudah sah bagimu jika engkau bermaksud berkurban dan berniat mendapatkan pahala di dalamnya." (Al-Ma'alim: 2/199)

3. Hadits al-Bara' bin 'Azib Radhiyallahu 'Anhu, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

أَرْبَعٌ لَا تَجُوزُ فِي الْأَضَاحِيَّ الْعَوْرَاءُ بَيِّنٌ عَوَرُهَا

"Empat macam (hewan) yang tidak boleh/tidak sah untuk berkurban: hewan yang jelas kebutaanya…" (HR. Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasai, Ibnu Majah dan lainnya)

Mereka mengatakan, kalimat, "tidak boleh/tidak sah" adalah dalil wajibnya berkurban. Karena perkara tathawwu' tidak dikatakan padanya, tidak boleh/tidak sah. Alasan mereka, terbebas dari cacat hanyalah dijaga berkenaan dengan perkara-perkara wajib. Adapun dalam perkara tathawwu', boleh mendekatkan diri kepada Allah dengan hewan yang buta dan selainnya.

- Dijawab: Kurban adalah ibadah yang disunnahkan oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam untuk mendekatkan diri kepada Allah menurut ketentuan yang ditetapkan syariat. Ini adalah hukum yang ada ketentuan waktunya dan tidak boleh menyimpang dari sunnah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Karena mustahil mendekatkan diri kepada Allah dibolehkan dengan sesuatu yang dilarang lewat lisan Nabi-Nya. (Al-Tamhid, Ibnu Abdil Barr: 20/167)

4. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, "Siapa yang memiliki kelapangan dan tidak berkurban maka janganlah mendekati tempat shalat kami." (HR. Ibnu Majah, Ahmad, dan lainya. Statusnya: Dhaif dan mauquf)

Orang yang mewajibkannya berargumen, Larangan mendekati tempat shalat menunjukkan bahwa dia meninggakan kewajiban. Seolah beliau bersabda, tidak ada gunanya shalat dengan meninggalkan kewajiban ini. (Lihat syarah hadits tersebut dalam Subulus Salam milik al-Shan'ani)

- Dijawab: yang benar hadits tersebut mauquf sehingga tidak bisa dijadikan landasan, sebagaimana yang dijelaskan para imam. Al-Shan'ani dalam Subulus Salam berkata, "Karena lemahnya dalil-dalil yang mewajibkan, maka mayoritas shabat, tabi'in, dan fuqha' berpendapat bahwa berkurban adalah sunnah mu'akkadah. Bahkan Ibnu Hazm berkata, "Tidak ada dalil shahih yang mewajibkannya dari salah seorang sahabat."

Sikap Paling Selamat

Dan sikap yang paling selamat yang selayaknya diambil seorang muslim, tidak meninggalkan berkurban ketika mampu, karena melaksanakan berkurban merupakan sikap yang melepaskan dirinya dari tanggungan dan tuntutan. Dan keluar darinya adalah lebih selamat. Sedangkan bagi yang tidak mampu, tidak memiliki harta kecuali sekedar mencukupi kebutuhan pokok keluarganya, maka berkorban tidak wajib atas mereka. Sedangkan siapa yang memiliki tanggungan hutang, maka selayaknya mendahulukan pembayaran hutang atas berkurban. Karena melepaskan diri dari beban tanggungan ketika mampu hukumnya adalah wajib.

Walaupun secara hukum rinci dari penjelasan para ulama, berkurban tidak wajib 'ain bagi orang yang memiliki kelapangan. Namun bukan berarti boleh diremehkan. Sebab, mengagungkan perintah dan syi'ar Islam termasuk tanda ketakwaan dalam hati. Pahala yang dijanjikan juga cukup besar, setiap bulunya dihitung satu hasanah. Maka muslim yang menginginkan derajat tinggi di surga, mendapat kecintaan dan keridhaan Allah Ta'ala yang lebih hendaknya ia mengumpulkan sebab-sebabnya. Wallahu Ta'ala a'lam.

Sumber: VoaIslam

0 komentar:

Link Movement

Aqiqah Saung Domba | Praktis Amanah Santun Sedap

Kumpulan Kitab & Buku Islam

Sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (Al-Qamar: 17)

Kitab/Buku Lain..